Fanatisme Menjadi Akar Permasalahan Konflik Antar Suporter di Indonesia
Sepak bola pada dasarnya merupakan olahraga terpopuler di Indonesia. Namun, kita tidak dapat menepis fakta bahwa sepak bola Indonesia masih jauh dari kata berprestasi jika dibandingkan dengan olahraga lain seperti bulu tangkis.
Terlebih, dibanding prestasi, sepak bola Indonesia lebih sering menciptakan tragedi. Ironisnya, tragedi dalam dunia sepak bola Indonesia seringkali mengkorbankan nyawa seseorang.
Belum lama sejak tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang, dan belum ada penyelesaian yang adil. Kini, tragedi baru menimpa di Stadion Patrio, Bekasi pada laga big match terbesar di Indonesia, yaitu Persija Jakarta vs Persib Bandung pada Sabtu (02/09/2023).
BACA JUGA: Legenda Manchester City David Silva Umumkan Pensiun sebagai Pesepakbola
Bukan pertikaian antara pemain yang menjadi masalah, melainkan perselisihan di antara pendukung Persija. Hasil imbang 1-1 dalam pertandingan pekan ke-11 Liga 1 2023/2024 tampaknya tidak diterima oleh sebagian pendukung.
Beberapa oknum suporter melempar botol air mineral, baik yang masih berada dalam plastik maupun yang sudah dibuka, ke apangan. Upaya penjaga keamanan (steward) untuk meredakan situasi ini tampaknya tidak banyak membuahkan hasil.
Bahkan, awak media, terutama fotografer jurnalis, tidak luput dari kritik massa. Mereka diminta untuk tidak mengabadikan aksi di tribune dalam foto atau video, agar tidak menjadi sasaran lemparan botol air mineral.
Kasus pertikaian antar suporter ini bukan kali pertama di Indonesia. Garis besar alasan mengapa kisruh antar suporter ini terus terjadi di Indonesia adalah fanatisme.
Bagaimana Fanatisme Fans Sepak Bola Indonesia Terbentuk?
Penting untuk diakui bahwa sepak bola adalah olahraga yang sangat diminati di Indonesia. Hal ini dapat dijelaskan dengan sederhana: sepak bola adalah olahraga yang demokratis, bisa dinikmati oleh siapa saja tanpa memandang latar belakang sosial, agama, atau status. Inilah yang menjadikan jumlah penonton sepak bola di Indonesia sangat besar, dan seiring dengan itu, tingkat fanatismanya juga menjadi tinggi.
Berbeda dengan olahraga populer lainnya, seperti bulu tangkis, fanatisme masyarakat Indonesia terhadap sepak bola sering kali terbagi. Hal ini disebabkan oleh struktur klub dan penyelenggaraan liga di Indonesia. Meskipun dalam bulu tangkis juga ada tim, namun fanatisme masyarakat Indonesia cenderung terfokus pada satu entitas tunggal, yaitu Timnas Indonesia. Namun, dalam sepak bola, pendukung timnas memang fanatik, tetapi fanatisme pendukung klub-klub sepak bola di Indonesia jauh lebih kuat.
Selain itu, keragaman geografis dan budaya di Indonesia telah melahirkan kelompok-kelompok pendukung yang sangat fanatik di setiap daerah. Misalnya, Bobotoh adalah sebutan untuk pendukung Persib Bandung, The Jak untuk pendukung Persija Jakarta, Bonek untuk pendukung Persebaya Surabaya, Aremania untuk pendukung Arema Malang, dan masih banyak lagi.
Dari keragaman ini, terciptalah rivalitas antara klub dan pendukungnya. Terutama di Pulau Jawa, rivalitas ini sangat kuat, seperti Persib Bandung yang bersaing dengan Persija Jakarta, Persebaya yang rival dengan Arema Malang, dan lain sebagainya. Rivalitas ini tidak hanya didasarkan pada sejarah, tetapi juga faktor geografis dan bahkan hal-hal di luar sepak bola yang telah menjadi pemicu persaingan. Inilah yang seringkali memicu fanatisme di kalangan pendukung.
BACA JUGA: PSSI baru Tahu Hak dan Kewajiban Suporter Dilindungi UU SKN
Bagaimana Fanatisme Merusak Sepak Bola Indonesia?
Sebagai seorang pendukung tim sepak bola, tentu saja yang kita inginkan adalah kemenangan bagi tim kita, dan ini adalah hal yang wajar. Namun, fanatisme seringkali membawa dampak negatif yang merugikan masyarakat secara umum. Beberapa pendukung fanatik klub sepak bola Indonesia terkadang mengungkapkan ketidakpuasan mereka terhadap hasil pertandingan dengan melakukan tindakan kekerasan. Di luar lapangan, sering terjadi bentrok antara kelompok pendukung klub sepak bola, bahkan dalam kasus yang lebih parah, fanatisme dapat memunculkan sentimen negatif terhadap daerah tertentu karena rivalitas antara klub sepak bola yang didukung.
Dampak buruk dari fanatisme ini juga berdampak pada klub sepak bola yang diidolakan. Klub-klub sepak bola Indonesia sering kali harus menghadapi sanksi dari federasi sepak bola karena ulah para pendukung fanatik ini. Sanksi tersebut bisa berupa hukuman, pertandingan tanpa penonton, pengurangan poin, sanksi keuangan, bahkan hingga pembekuan klub. Jadi, paradoksalnya, fanatisme yang berlebihan ini justru merusak citra dan stabilitas internal klub yang mereka cintai.
BACA JUGA: Grazie Mille Gianluigi ‘Superman’ Buffon
Apa yang Perlu Diperbaiki?
Selamanya, masalah fanatisme akan selalu kembali kepada kesadaran pribadi masing-masing individu. Dibutuhkan paling tidak kematangan diri untuk menyadari bahwa tim sepak bola yang kita dukung tidak selalu akan menang, dan terkadang kekalahan adalah bagian dari permainan. Tindakan brutal yang sering dilakukan oleh para penggemar sepak bola fanatik sering kali dipicu oleh rasa kecewa. Kekecewaan atas kekalahan tim kesayangan, manajemen klub yang buruk, dan alasan-alasan lain yang terkait dengan tim yang mereka dukung. Namun, kekecewaan tersebut tidak seharusnya menjadi alasan untuk melakukan tindakan seperti kerusuhan. Ironisnya, karena fanatisme buta yang dimiliki, mereka selalu mencari pembenaran untuk tindakan mereka.
Tanggung jawab juga ada pada klub dan federasi sepak bola jika mereka ingin menciptakan lingkungan sepak bola yang sehat di Indonesia. Ini dimulai dari menjalankan liga yang sehat, memastikan personel keamanan memahami aturan, dan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang sepak bola itu sendiri. Selain itu, pemahaman tentang rivalitas klub sepak bola di Indonesia juga perlu dipertimbangkan. Ini bisa mencakup penyelenggaraan pertandingan di tempat yang netral, jadwal pertandingan yang efektif, pembatasan jumlah penonton, dan peningkatan pengamanan sesuai dengan standar untuk keamanan bersama.
(RRY)