Polemik TikTok Shop vs UMKM: Antara Adaptasi Digital dan Perlindungan Pasar

Salah satu isu yang kini tengah menjadi persoalan adalah UMKM vs TikTok Shop. Banyak orang yang menilai, keberadaan TikTok Shop mengusik dan merusak pasar para UMKM karena banyak dari UMKM yang harus bangkrut akibat banyak masyarakat Indonesia yang berpindah ke TikTok Shop.

Pakar ekonomi digital Ignatius Untung, mengatakan keberadaan TikTok Shop tidak dapat serta merta disalahkan. Karena, menurutnya semuanya kembali ke kemampuan si penjual dalam beradaptasi dengan perpindahan ekonomi yang kini mulai masuk ke ranah digital. 

Advertisement

Untung pun menambahkan, apa yang dilakukan TikTok pada TikTok Shop pada dasarnya adalah hal yang wajar dalam dunia retail. Menurutnya, semua retailer, baik online maupun offline biasanya memiliki merek atau label pribadi yang mereka produksi sendiri atau dengan kerjasama dengan pihak lain. Ini adalah strategi bisnis yang umum digunakan untuk mengejar peluang bisnis yang menguntungkan.

BACA JUGA: Ingin Mencari Side Hustle? Live di TikTok Jawabannya 

Namun, masalah muncul ketika sumber barang yang digunakan untuk merek pribadi tersebut berasal dari luar negeri, khususnya dari China. Ini menjadi perhatian karena sourcing barang dari luar negeri dapat berdampak pada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia. Meskipun praktek ini umum, sourcing barang dari China menjadi titik perdebatan.

Ignatius Untung menjelaskan bahwa hal ini harus dilihat secara normatif. Dia berpendapat bahwa jika pemerintah ingin melindungi UMKM dari TikTok Shop, aturan yang diberlakukan harus berlaku untuk semua platform, baik online maupun offline. Namun, dia menekankan bahwa aturan semacam itu harus diterapkan dengan hati-hati untuk tidak menghambat pertumbuhan bisnis.

“Kalau pemerintah mengeluarkan aturan bahwa retailer platform itu tidak boleh menjual barang punya sendiri, jadi produsen. Menurut saya itu jadi buah simalakama. Karena artinya itu harus berlaku juga ke retail, offline,” ujar Ignatius

Persepsi Harga di Online dan Offline

Ignatius Untung juga membahas persepsi tentang harga di toko online dan offline. Dia mencatat bahwa ada perbedaan antara kedua platform ini dalam hal tawar-menawar. Di toko offline, konsumen sering memiliki kesempatan untuk menawar harga, sementara di toko online, harga sudah ditetapkan.

BACA JUGA: Meme ‘Pinjam Dulu Seratus’: Bukti Nyata Masyarakat Indonesia Suka Ngutang 

Namun, dia mencatat bahwa harga online seringkali lebih transparan dan dapat diakses dengan mudah oleh konsumen. Selain itu, review produk dari pengguna lain juga dapat membantu konsumen membuat keputusan pembelian yang lebih baik. Oleh karena itu, Ignatius Untung berpendapat bahwa pengalaman berbelanja online dapat lebih praktis dan efisien bagi konsumen.

“Karena online itu harganya, kemungkinan kan, bukan kemungkinan, semua platform online nggak memungkinkan tawar-menawar. Ketika nggak bisa tawar-tawaran akhirnya kesempatan dia cuma sekali. Yaitu taruh harga paling murah. Paling murah itu bukan berarti dia jual rugi ya. Tapi artinya ini loh angka yang dengan harga segini saya masih dapat keuntungan yang ya lumayan bisa cukup buat perhitungan bisnis saya gitu ya. Tapi juga cukup menarik buat konsumen. Nah kalau kita datang ke ITC, ke tempat-tempat offline yang dimana orang bisa tawar-tawaran.” ujar Untung

Pada akhirnya, TikTok Shop merupakan sebuah bentuk upgrade dalam dunia retail. Menyalahkan TikTok Shop sebagai kegagalan UMKM pun rasanya tidak sepenuhnya benar. Peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk meregulasi hal tersebut agar tidak ada monopoli pasar. (*/)

(RRY)

 

Advertisement

Related post

×

Hello!

Silakan kirim email ke program@jak101fm.com untuk pertanyaan seputar JAK 101 FM

× Hey JAK FM