Peringati Hari Radio Nasional: Tike Priatnakusumah Tekankan Keberadaan Penyiar sebagai Nyawa dari Sebuah Radio
Hari ini, tepatnya 11 September 2023, Indonesia merayakan ‘Hari Radio Nasional’. Meskipun kini pendengar radio tidak semasif dulu, namun rasanya radio selalu menjadi salah satu media yang tidak tergantikan.
Terlebih, berdirinya radio di Indonesia relatif terbilang penuh dengan drama. Radio pertama kali beroperasi di Indonesia pada awal abad ke-20. Saat itu, Belanda menjadi negara yang memperkenalkan teknologi radio di Hindia Belanda yang merupakan cikal bakal dari Indonesia.
Sejarah Radio di Indonesia
‘Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij’ (NIROM) merupakan stasiun radio pertama di Indonesia yang mulai beroperasi sejak 1923. Nantinya, NIROM akan dikenal dengan Radio Jakarta.
Namun, karena pendudukan Belanda atas Indonesia usai di tahun 1942, penguasaan radio oleh Belanda pun diambil alih oleh Jepang. Barulah pada tahun 1945, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945, operasi radio kembali ke tangan Indonesia.
BACA JUGA: 8 Hal yang Perlu Diperhatikan Sebelum Mengajukan Resign
Berdirinya RRI
Pada tanggal 11 September 1945, sejumlah wakil dari komunitas radio internasional berkumpul di bekas bangunan Raad Van Indje Pejambon. Anggota delegasi yang ikut dalam pertemuan ini mencakup Abdulrahman Saleh, Adang Kadarusman, Soehardi, Soetarji Hardjolukito, Soemarmadi, Sudomo Marto, Harto, dan Maladi.
Abdulrahman Saleh, yang bertindak sebagai ketua delegasi, menjelaskan tujuan pertemuan tersebut. Salah satu tujuannya adalah mendorong pemerintahan baru untuk memperkenalkan radio sebagai saluran komunikasi antara pemerintah dan rakyat, terutama mengingat rencana tentara Inggris untuk mendarat di Jakarta menjelang akhir September 1945.
Delegasi ini mengusulkan penggunaan radio sebagai alat komunikasi karena kecepatan dan keandalannya yang tinggi dalam menghindari gangguan selama situasi perang. Selanjutnya, mereka merekomendasikan bahwa pemerintah Indonesia melakukan negosiasi dengan pemerintah Jepang untuk mendapatkan izin menggunakan studio dan pemancar radio Hoso Kyoku yang tersedia.
Meskipun pada awalnya proposal ini disetujui oleh sejumlah pejabat tingkat tinggi, termasuk sekretaris negara dan menteri, karena perangkat tersebut telah tercatat sebagai aset Sekutu, delegasi radio tetap tekun dalam upaya mereka. Mereka sepenuhnya menyadari risiko dan ketidakpastian yang mungkin timbul selama situasi perang.
Pada akhirnya, Abdulrachman Saleh menyusun beberapa kesimpulan penting dalam penutupan pertemuan tersebut. Beberapa poin kunci termasuk pendirian Persatuan Radio Republik Indonesia, yang akan melanjutkan penyiaran dari 8 stasiun di Jawa, serta penyediaan RRI kepada Presiden dan Pemerintah RI sebagai alat komunikasi dengan rakyat. Pemerintah setuju dengan kesimpulan ini dan bersedia memberikan dukungan kepada RRI, meskipun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa aspek.
BACA JUGA: Rombongan Tim Film ‘Budi Pekerti’ Hadiri Opening Night Toronto International Film Festival 2023
Sebagai hasil pertemuan tersebut, delegasi dari 8 stasiun radio di Jawa menggelar pertemuan di rumah Adang Kadarusman. Peserta rapat meliputi Soetaryo dari Purwokerto, Soemarmad dan Soedomo Marto dari Yogyakarta, Soehardi dan Harto dari Semarang, Maladi dan Soetardi Hardjolukito dari Surakarta, serta Darya, Sakti Alamsyah, dan Agus Marahsutan dari Bandung.
Hasil akhir dari rapat ini adalah pendirian RRI pada tanggal 11 September, dengan Abdulrachman Saleh sebagai ketua. Peresmian RRI bukan hanya menandai kelahiran radio publik Indonesia yang sekarang merupakan bagian penting dari kehidupan kita, tetapi juga menjadi dasar bagi peringatan Hari Radio Nasional yang kita sambut dengan bangga setiap tahunnya.
Arti Penting Radio bagi Masyarakat Indonesia
Radio pada dasarnya sejak era penjajahan pun memberikan dampak bagi masyarakat Indonesia. TV yang saat itu belum menjadi suatu hal yang pasti dimiliki akhirnya membuat radio sebagai sumber informasi masyarakat Indonesia terkait keadaan perang hingga akhirnya menjadi media yang mengabarkan kemerdekaan Indonesia.
Berpindah ke era kemerdekaan, radio kini menjadi salah satu media yang memberikan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Mulai dari informasi penting terkait kemacetan jalan, hingga informasi-informasi ‘receh’ yang dapat menghibur masyarakat Indonesia ketika merasa penat saat berada di tengah kemacetan.
Selain memiliki dampak bagi para pendengar, radio tentunya memberikan dampak besar bagi para penyiar. Teh Tike Priatnakusumah yang kurang lebih sudah menjadi penyiar selama 20 tahun pun membagikan kesenangannya selama menjadi seorang penyiar.
BACA JUGA: Rekomendasi 3 Olahraga untuk Mengisi Weekend! – JAK 101
Teh Tike mengakui keberadaan radio jelas memberikan dampak signifikan bagi hidupnya. Mulai dari kerja sama brand yang akhirnya memberangkatkan dirinya ke salah satu negara di Eropa, sampai kesuksesannya dalam membiayai sekolah anak-anaknya dan juga berlibur ke berbagai tempat.
“Wah radio luar biasa loh buat hidup aku ya. Aku bisa nyekolahin anak, bisa liburan ke mana-mana gitu. Dari radio tuh banyak banget didapat, termasuk waktu itu dipilih sama satu produk yang lahirnya di swiss untuk meliput ke sana karena ngewakilin radio jadi media gitu.” jelas Teh Tike
Teh Tike pun menambahkan, penyiar pada dasarnya menjadi soul dari sebuah radio. Kemampuan seorang penyiar nyatanya mampu membuat para pendengar radio tetap bertahan mendengarkan radio meskipun berbagai platform streaming audio kian menjamur di Indonesia.
“Makanya mesti tepatlah milih penyiar untuk radio radio gitu. Penyiar juga harus bisa apa ya bisa membuat orang orang yang selama ini udah jadi pendengar setianya itu tetap stay sama kita gitu.” ujar Teh Tike.
Keberadaan radio di Indonesia memang tidak semasif dulu, namun keberadaan radio di Indonesia tetaplah dibutuhkan. Bagaimana kehadiran sosok penyiar membuat seseorang nyaman meskipun tidak bertatap muka atau tidak memperlihatkan fisik mereka, nyatanya menjadi kunci utama dari keberlangsungan radio di Indonesia.
(RRY)