PPN Naik 12%, Kelas Menengah yang Akan Paling Rasakan Dampaknya
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang direncanakan pada tahun 2025 oleh pemerintah telah menimbulkan kekhawatiran, khususnya bagi masyarakat kelas menengah bawah. Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata, menyoroti bahwa kelompok ini akan menjadi yang paling terdampak oleh kebijakan tersebut.
Menurut Pardede, kelas menengah bawah akan menghadapi lonjakan inflasi akibat kenaikan PPN. Meskipun dampaknya tidak besar secara langsung, peningkatan harga akan menambah beban bagi kelas menengah dan bawah yang pendapatannya tidak selaras dengan kenaikan harga barang-barang pokok.
“Kelas menengah ini bukan penerima bansos, karena hanya 40 persen terbawah yang mendapatkan bantuan sosial. Desil 1-4 dianggap sebagai kewajiban pemerintah untuk mendapatkan bantuan sosial. Namun, desil 5-6 merupakan kelompok yang tidak mendapatkan bantuan sosial, namun pendapatan mereka tidak sebanding dengan kenaikan harga bahan pokok,” jelas Pardede.
Pardede menegaskan bahwa kenaikan PPN harus diiringi dengan kebijakan yang bertujuan untuk memperbaiki daya beli dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, ia juga meminta pemerintah untuk mempertimbangkan dampak kenaikan tarif PPN terhadap dunia usaha, terutama dalam memperluas basis pelanggan.
Namun, Pardede juga menyoroti bahwa dampak kenaikan PPN tidak akan terlalu besar jika tidak diiringi dengan kenaikan harga bahan pokok dan listrik. Ia berpendapat bahwa stabilnya harga bahan pokok dan listrik dapat mengurangi tekanan terhadap masyarakat kelas menengah bawah.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah mengisyaratkan bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 sebagai bagian dari agenda keberlanjutan rezim baru yang dipilih oleh masyarakat. Keputusan ini akan dibahas dalam tahap awal penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 yang sedang dibahas oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Sementara kebijakan kenaikan tarif PPN secara bertahap sudah diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) atau “omnibus law perpajakan” yang dikeluarkan oleh pemerintahan sebelumnya, yang mengatur kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada tahun 2022, dan selanjutnya naik menjadi 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.
Kritik dan peringatan dari ahli ekonomi seperti Pardede harus menjadi pertimbangan serius bagi pemerintah dalam merancang kebijakan perpajakan yang dapat menjaga kesejahteraan masyarakat, terutama bagi kelompok yang rentan terdampak oleh kebijakan tersebut. Keberlanjutan ekonomi yang inklusif harus menjadi prioritas utama dalam pembangunan kebijakan pajak ke depan. (*/)
(RRY)