Mengenal Karoshi: Budaya Semangat Kerja di Jepang yang Justru Menjadi Masalah
JAKartans, Jepang tidak dapat dipungkiri menjadi salah satu tujuan destinasi wisata turis mancanegara.. Berbagai hal seperti budaya, keindahan alam, dan juga teknologi, menjadi salah satu daya tarik Jepang sebagai salah satu tujuan destinasi wisata..
Image Jepang sebagai negara yang ‘sempurna’ tentunya hasil kesuksesan pemerintah Jepang dalam membingkai kesempurnaan Jepang melalui sektor pariwisata. Namun, apakah Jepang benar-benar sesempurna itu?
Di balik kesempurnaan Jepang, nyatanya terdapat suatu hal yang cukup tragis dan juga ironis. Kita sama-sama tahu, masyarakat Jepang memiliki nilai semangat kerja yang tinggi. Namun, semangat kerja inilah yang akhirnya membuat suasana dalam dunia kerja yang terbilang toxic.
Karoshi merupakan istilah di Jepang yang didefinisikan sebagai gila kerja yang berlebihan sehingga mengganggu kesehatan. Dari sini kita bisa melihat, nyatanya semangat kerja yang dimiliki oleh masyarakat Jepang justru menjadi petaka untuk masyarakat Jepang pula.
BACA JUGA: 4 Alasan Mengapa Jepang Menjadi Destinasi Wisata Favorit Semua Orang!
Hadirnya Karoshi tentunya bukan tanpa sebab. Berbagai budaya bekerja tentunya menjadi pemicu lahirnya mindset ‘semangat’ kerja yang cenderung berdampak negatif pada diri kita. Lantas, budaya bekerja apa sih yang sebaiknya kita hindari.
1. Aturan Jam Kerja yang Panjang
Semua hal ada porsinya masing-masing. Sesuai dengan kalimat, “Makanlah sebelum lapar, dan berhentilah sebelum kenyang”. Kalimat ini memiliki arti, jangan pernah berlebihan dalam melakukan suatu hal dan kalimat ini nyatanya berlaku dalam dunia kerja.
Bekerja memang menjadi kewajiban seorang pekerja, namun yang namanya bekerja pun ada porsinya. Porsi kita untuk bekerja berada saat di jam kerja, sehingga ketika kita sudah berada di luar jam kerja, tentunya kita harus beristirahat atau melakukan hal lain di luar dunia kerja.
Salah satu faktor pemicu Karoshi adalah jam kerja yang sangat panjang di Jepang, tetapi pemerintah Jepang telah mengeluarkan regulasi untuk membatasi kerja lembur. Sebelumnya, batas maksimum jam lembur dalam sebulan adalah 30 jam, dengan sisanya tergantung pada persetujuan atau penolakan dari pekerja itu sendiri.
Beberapa perusahaan di Jepang telah mulai memberikan perhatian lebih kepada kesejahteraan karyawan dengan upaya untuk memungkinkan mereka pulang lebih awal, bahkan pada jam 7 malam. Namun, upaya ini belum mampu mengurangi signifikan angka kasus Karoshi.
2. Takut Dipecat
Senyaman-nyamannya kita dengan pekerjaan yang sedang dijalani, rasa ketakutan akan dipecat tentunya menjadi hal yang seringkali terpikirkan. Terlebih, di dunia kerja yang kini serba cepat, rasanya ketakutan tersebut menjadi semakin relevan.
Dengan adanya rasa ketakutan akan dipecat, para pekerja cenderung akan bekerja dengan ‘ekstra’ sampai lupa dengan batasan yang sebenarnya mereka miliki. Sehingga, pada akhirnya berbagai permasalahan mulai gangguan kesehatan, dan lain sebagainya menjadi suatu hal yang terjadi bagi para pekerja.
BACA JUGA: Mengenal Lebih Jauh Bahaya Burnout Akibat Bekerja: Tanda, Dampak, dan Cara Mengatasinya
Padahal, dengan bekerja sesuai dengan porsi dan menjalankan apa yang menjadi kewajiban untuk kita, rasanya ketakutan akan dipecatnya kita akan menjadi hal yang mustahil terjadi. Terlebih, terdapat berbagai peraturan yang memang melarang suatu perusahaan melakukan pemecatan terhadap pekerjanya tanpa adanya alasan yang jelas.
Ini adalah alasan utama mengapa pekerja di Jepang bekerja dengan tekun. Mereka ingin memenuhi harapan atasan mereka yang telah menunjukkan kepercayaan pada mereka, dan mereka berusaha untuk memberikan hasil kerja yang baik. Meskipun motivasi ini tampak positif, pada sisi lain, hal ini juga mendorong mereka bekerja melebihi batas fisik mereka, yang dapat berdampak serius pada kesehatan mereka, termasuk stres, depresi, dan masalah kesehatan fisik yang serius.
3. Senioritas
Senioritas bisa dibilang sudah menjadi budaya dalam dunia kerja. Tentunya, sebagai orang yang jauh lebih muda dibandingkan senior kita di tempat kita bekerja, kita harus menghormati mereka. Namun, senioritas seringkali menimbulkan masalah dibandingkan dengan rasa saling hormat antar pekerja.
Di berbagai kasus, para senior seringkali memanfaatkan status mereka untuk memanfaatkan junior mereka. Mulai dari menyuruh-nyuruh hal yang di luar pekerjaan, sampai menyuruh-nyuruh junior mereka untuk melakukan pekerjaan mereka.
Dengan demikian, para junior ini akhirnya harus menanggung beban kerja yang sebenarnya bukan menjadi kapasitas mereka. Dan akhirnya, tidak jarang dari para junior ini melakukan kesalahan yang berujung ke kerugian terhadap perusahaan.
BACA JUGA: Ngantuk di Jam Kerja? Lakukan 5 Hal ini!
Senioritas di Jepang pun nyatanya menjadi persoalan. Selain di Jepang pun nyatanya senioritas menjadi permasalahan di berbagai negara Asia termasuk Indonesia.
Pada akhirnya, dibalik image ‘sempurna’ Jepang, terdapat fenomena gila kerja yang merenggut korban. Banyak dari mereka harus meregang nyawa karena kelelahan akibat bekerja. Satu hal terpenting dalam dunia kerja yang harus kita tanamkan adalah segala sesuatu ada porsinya. Sebagai pekerja, kita harus tahu porsi kita sebagai pekerja dan porsi kita sebagai manusia. (*/)
(RRY)